Bagi anak-anak perempuan masyarakat Jawa yang hidup di sekitar tahun 1960-hingga 1970-an tentu tidak asing lagi dengan dolanan anak yang disebut Jamuran. Ketika televisi belum menjamur seperti sekarang, hiburan mereka kebanyakan adalah bermain di lapangan terbuka. Beraneka ragam dolanan anak mereka mainkan, salah satunya adalah jamuran. Seiring dengan merebaknya hiburan televisi dan lainnya, permainan tradisional jamuran ini sudah jarang lagi dimainkan oleh anak-anak perempuan. Jika masih ada pun hanya sebatas dalam kegiatan festival, workshop, seminar, atau sejenisnya.
Dari segi istilah, kiranya nama jamuran diambil dari nama tumbuhan jamur. Jamur yang berbentuk seperti payung bulat itulah yang menjadi inspirasi nama dolanan jamuran. Berarti jamuran adalah sebuah nama dolanan, yang permainannya membentuk lingkaran seperti jamur. Maka anak-anak menyebutnya dengan dolanan jamuran.
Biasanya yang memainkan dolanan jamuran ini adalah anak-anak perempuan. Namun tidak menutup kemungkinan juga dimainkan oleh anak-anak laki-laki atau campuran. Sementara umur anak-anak yang bermain dolanan ini setingkat usia TK sampai SD, sekitar 6-13 tahun. Jika ada anak di bawah usia 6 tahun ikut, biasanya dianggap pupuk bawang atau bawang kothong alias dianggap cuma ikut-ikutan, karena dianggap belum paham tentang cara bermain yang sesungguhnya. Dolanan jamuran ini, dulu sering dimainkan di saat waktu senggang di hari libur di saat pagi, sore, atau malam hari ketika bulan purnama.
Dolanan jamuran tidak membutuhkan peralatan bantu kecuali hanya tanah lapang atau halaman yang cukup luas. Biasanya memakai halaman rumah, halaman sekolah, halaman balai desa, atau di lapangan. Sebelum anak-anak melakukan permainan ini, mereka melakukan ‘hompipah’ untuk menentukan pemenang dan yang ‘dadi’. Anak yang bermain umumnya lebih dari 4 anak. Idealnya sekitar 10 anak. Setelah dilakukan ‘hompipah’, anak yang kalah akan menjadi pemain ‘dadi’. Ia berposisi di tengah, sementara anak lain mengelilinginya sambil melingkar dan bergandengan tangan.
Anak-anak yang mengelilinginya sambil menyanyikan sebuah tembang jamuran, yaitu: //jamuran, ya ge ge thok/ jamur apa ya ge ge thok/ jamur gajih mbejijih saara-ara/ semprat-semprit jamur apa?// Setelah nyanyian selesai, maka anak yang ‘dadi’ segera mengucapkan sebuah jamur, misalnya ‘jamur lot kayu’. Maka seketika pemain yang mengelilinginya harus segera mencari pohon atau benda-benda yang berasal dari kayu untuk dipeluknya. Jika ada anak yang kesulitan mencarinya maka bisa segera ditangkap oleh anak yang dadi. Jadilah anak yang ditangkap itu menjadi anak yang ‘dadi’. Ia harus berada di tengah, semantara anak lain termasuk yang menangkapnya kembali mengelilingi anak yang baru ‘dadi’ tadi. Begitulah seterusnya, ketika permainan kembali mulai, anak-anak mengawali dengan tembang jamuran seperti di atas.
Berbagai jenis jamur yang biasanya diucapkan oleh anak yang ‘dadi’. Hal itu biasanya tergantung dari wawasan anak yang ‘dadi’. Macam-macam jenis jamur yang sering diucapkan anak saat bermain jamuran, seperti jamur kethek menek, jamur kendhil borot, jamur gagak, jamur kendhil, dan sebagainya. Saat anak yang ‘dadi’ mengucapkan ‘jamur kethek menek’, maka pemain lain harus segera mencari tempat yang bisa dipanjat. Yang penting mereka tidak menginjak tanah. Ketika ada anak yang kesulitan mencari tempat panjatan dan segera ditangkap oleh anak yang ‘dadi’, maka anak yang ditangkap akan berubah menjadi anak yang ‘dadi’. Jika ada anak yang ‘dadi’ sampai berulangkali, dinamakan ‘dikungkung’.
Tentu anak yang bermain jamuran harus bisa bersosialisi dengan teman, tidak boleh egois, harus cekatan, banyak akal, dan tidak boleh cengeng. Jika anak tidak bisa memenuhi kriteria itu tentu akan mudah ditinggalkan teman-teman bermain lainnya. Itulah pendidikan yang diajarkan dalam permainan tradisional jamuran.
0 komentar:
Posting Komentar