Bagi masyarakat Jawa, khususnya bagi kalangan anak-anak perempuan periode tahun 1970-an dan sebelumnya, permainan dhakon mungkin sudah tidak asing lagi. Permainan tradisional ini merupakan bagian dalam dunia bermain mereka, terutama di wilayah pedesaan. Dhakon kayu dengan ukiran juga banyak dijumpai, terutama di kalangan kraton yang dimiliki oleh para ningrat dan bangsawan Jawa. Memang, mainan dhakon ini menjadi salah satu mainan favorit anak perempuan dari kalangan ningrat dan bangsawan kraton. Namun sayang, permainan tersebut lambat laun mulai tidak dikenal lagi oleh generasi sekarang seiring dengan perkembangan zaman.Dhakon yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah congklak, sebenarnya dapat menyebut ke alat permainan itu sendiri maupun ke nama permainannya. Jika “dhakon” menunjuk ke alatnya, maka “dhakonan” lebih menunjuk ke bermain dhakon. Pada umumnya, dhakon dibuat dari bahan sebilah kayu dengan panjang sekitar 50 cm, lebar 15-20 cm, dan tebal sekitar 4-5 cm. Kayu yang dipakai pun bebas jenisnya, yang penting mudah dilubangi (tidak sampai tembus, hanya sekitar 2 cm, bentuknya cekung). Bentuk kayu lebih ke bentuk persegi empat dengan kedua sisi ujung sering dibentuk setengah lingkaran. Lalu, kedua sisi memanjang dibuat lubang berpasangan berjumlah sekitar 3-7 buah. Sementara di kedua ujung juga dibuat lubang cekung agak besar jika dibanding dengan lubang-lubang di sisi kanan kiri. Sehingga total lubang cekung dalam sebuah dhakon antara 8-16 buah.
Namun bisa jadi, dhakon tidak dibuat dari kayu, namun bisa dibuat dengan melubangi tanah yang agak keras dengan batu. Jumlah lubang cekungnya bisa sama dengan dhakon yang terbuat dari kayu. Dhakon dari tanah dibuat jika memang si anak yang hendak bermain dhakon tidak mempunyai alat dhakon dari kayu. Memang semua anak zaman dulu belum tentu mempunyai alat dhakon kayu. Maka, cara praktis adalah dengan membuat cekungan pada tanah yang agak keras.
Bahan lain yang sekarang banyak dipergunakan untuk pembuatan dhakon adalah dari plastik. Dhakon plastik banyak dijumpai di toko-toko mainan, di swalayan, di pasar tradisional, atau di pasar-pasar malam. Dhakon plastik lebih enteng atau ringan jika dibandingkan dengan dhakon kayu.
Sementara alat lain yang dipakai adalah kecik atau biji buah sawo, sawo manila, srikaya, tanjung, dan sejenisnya. Bisa juga memakai butiran batu krikil yang berukuran kecil, sebesar kecik.
Dhakon biasa dipakai oleh anak perempuan. Sebelum bermain, maka setiap lubang dhakon yang berukuran kecil awalnya harus diberi kecik dengan jumlah yang sama, misalnya 6 buah. Maka untuk 5 lubang dikalikan 2 sisi dikalikan 6 kecik, dibutuhkan 60 kecik. Untuk banyaknya kecil setiap lubang bisa menjadi kesepakatan anak yang akan bermain dhakon. Kemudian anak yang akan bermain dhakon mengawali dengan “sut” untuk mencari pemenang. Pemenang akan mengawali untuk bermain duluan. Ia bebas untuk memilih lubang awal untuk kemudian diambil keciknya, kemudian dibagi ke lubang di sisi kanannya. Setiap lubang diberi satu, termasuk lumbungnya yang berada di sebelah kanan. Lalu setiap lubang milik lawan juga diberi jatah satu. Ketika kecik terakhir dijatuhkan pada lubang yang masih berisi kecik lainnya, maka ia akan terus memainkan permainan. Begitu seterusnya kembali ke lubang yang ada di sisi pemain. Lubang lumbung milik lawan tidak diberi kecik. Jika si pemain saat menjatuhkan kecik terakhir pada lubang yang tidak ada keciknya, maka ia dianggap berhenti bermain dan dilanjutkan ke lawan bermain. Demikian selanjutnya, hingga lubang-lubang kecil kosong keciknya. Permainan dhakon juga mengenal nembak dan mikul. Nembak berlaku jika si pemain saat menjatuhkan kecik terakhir di lubangnya sendiri, sementara lubang di hadapan sisi lawan ada keciknya, maka dikatakan nembak. Dikatakan mikul, jika saat menjatuhkan kecik terakhir di sisi lawan, di kanan kiri ada keciknya.Jika seseorang mengungguli lawannya dalam perolehan kecik, maka ia dianggap menang. Kemudian permainan bisa dilanjutkan lagi hingga beberapa kali putaran atau sampai titik jenuh.
Ada pelajaran berharga dari bermain dhakon, di antaranya adalah rasa jujur dan melatih kecerdasan berhitung. Kejujuran permainan ini adalah mutlak. Sebab tanpa didasari rasa jujur, seseorang yang bermain dhakon akan curang sehingga merugikan orang lain. Ketika tidak didasari rasa jujur, maka saat kecik terakhir hendak jatuh pada lubang kosong tanpa kecik, ia pasti akan menjatuhkan kecik itu pada lubang sebelumnya yang ada keciknya. Atau bisa jadi, lumbungnya sendiri akan lebih diisi satu kecik dalam satu putaran. Banyak cara untuk berbuat curang jika tidak dijiwai dengan rasa jujur. Maka ketika rasa curang sering muncul, biasanya seseorang itu akan dijauhi oleh temannya bermain.
Selain itu tentu saja permainan dhakon juga membutuhkan kecerdasan berhitung, seperti di saat memasukkan kecik di setiap lubang maupun saat menghitung biji kecik di saat permainan satu babak usai. Jika tidak pandai berhitung, tentu akan membuat lawan bermain mengakalinya. Maka kecerdasan berhitung memang diperlukan dalam permainan dhakon.
Memang pada umumnya permainan tradisional lebih menitikberatkan pada penanaman nilai-nilai budi pekerti, seperti rasa kejujuran pada permainan dhakon atau nilai-nilai lain yang tentu akan dimunculkan pada permainan-permainan tradisional lainnya. Selain itu, pada permainan tradisional pada umumnya juga melibatkan rasa sosial yang tinggi, melibatkan dua orang lebih, dan bukan bersifat individual. Juga biasanya permainan anak tradisional, bahan baku alat langsung diperoleh dari lingkungan alam sekitarnya tanpa melalui proses pengolahan pabrik. Kreativitas anak biasanya lebih dominan dalam permainan tradisional, karena anak dilatih untuk membuat sendiri alat-alat permainan tersebut.





Batu menjadi salah satu alat yang dominan dipakai oleh anak-anak masyarakat Jawa dalam permainan tradisional. Banyak dolanan anak yang menggunakan batu, termasuk permainan gatheng. Batu yang digunakan dalam permainan gatheng biasanya tidak terlalu besar, hanya sebesar buah tanjung atau sebesar kelereng ukuran standard kira-kira diameter 1 cm atau lebih sedikit. Batu dengan ukuran tersebut biasa disebut dengan kerikil. Kerikil banyak dijumpai di alam sekitar atau di pekarangan. Ternyata dolanan gatheng sudah berumur tua, terbukti, di zaman kerajaan Mataram Islam sekitar abad XVII, ada salah satu putra raja yang memiliki batu gatheng, yaitu Raden Rangga. Batu gatheng miliknya itu ternyata cukup besar, melebihi ukuran normal, karena Raden Rangga dianggap salah satu putra raja Mataram yang cukup sakti. Bahkan batu gatheng yang diyakini milik Raden Rangga tersebut, sekarang masih tersimpan di Kotagede, Yogyakarta (Sukirman, Permainan Tradisional Jawa, Kepel Pres 2004, halaman 72).
anak-anak di saat sore hari setelah pulang sekolah. Kadang dimainkan pada pagi hari jika mereka sedang libur sekolah atau dimainkan di saat istirahat sekolah. Tempat bermain gatheng bebas, yang penting bisa memberi nyaman kepada anak-anak yang bermain, karena tidak memerlukan tempat yang luas. Satu meter persegipun sudah bisa dipakai oleh anak-anak untuk bermain gatheng. Asalkan tempatnya rata, bisa di teras rumah atau sekolah, di dalam rumah, di halaman rumah, di bawah pohon, atau di tempat-tempat nyaman lainnya. Dolanan gatheng sering dimainkan minimal oleh dua anak atau bisa lebih, misalnya 3 atau 4 anak. Jika lebih dari 4 sebaiknya membentuk kelompok baru.
Dolanan tradisional gobag sodor ini tentu sudah tidak asing lagi bagi anak-anak masyarakat Jawa yang sekarang berumur 30 tahun ke atas. Permainan yang akrab di kalangan anak-anak di tahun 1970-an ini sering dimainkan oleh anak laki-laki maupun kadang-kadang orang dewasa oleh kalangan masyarakat Jawa di kala waktu senggang, apalagi ketika malam bulan purnama. Salah satu kegiatan mengisi bulan purnama biasanya dengan memainkan dolanan tradisional berupa dolanan gobag sodor. Permainan ini ternyata juga sudah terekam dalam Baoesastra (kamus) Djawa tahun 1939 karangan W.J.S. Poerwadarminto terbitan J.B. Wolters’ Uitgevers Maatschappij, N.V. Groningen, Batavia. Di kamus itu tercatat di halaman 158, disebutkan hanya dengan istilah gobag, yang menerangkan sebagai sebuah jenis permainan anak. Di masyarakat Jawa seringkali pula disebut dengan permainan gobag sodor.
dimainkan oleh anak-anak sekarang karena keterbatasan lahan. Selain itu, permainan ini membutuhkan jumlah anak yang cukup untuk bermain, paling tidak 8—10 anak. Ketika masa lalu, anak-anak masih banyak punya waktu luang sehingga bisa bermain bersama-sama. Namun sekarang, anak-anak sudah banyak pilihan mainan, sehingga sulit untuk diajak bermain kelompok. Walaupun sebenarnya permainan ini mempunyai kelebihan dalam sikap bersosialisasi. Anak diajak bisa bekerjasama dengan teman bermain. Selain itu, permainan ini juga menuntut pelaku bermain untuk bersikap sportif dalam permainan dan tidak boleh curang atau egois. Anak-anak juga dituntut untuk bermain energik karena memang sifat permainan ini cepat.
tongkat kayu atau bambu.
dari jebakan, maka anak yang lain bisa menuju finish dan dianggap sebagai pemenang. Namun jika ada anak yang mendapat giliran main tersentuh oleh lawan sebelum anak lain mencapai finish, maka dianggap kalah dan harus bergantian main. Begitu seterusnya. Jika ada regu yang menang, biasanya mendapat hadiah gendongan dari lawan bermain. Jarak gendongan ditentukan oleh kedua regu yang bermain.




