This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 04 Maret 2011

DHAKON


Bagi masyarakat Jawa, khususnya bagi kalangan anak-anak perempuan periode tahun 1970-an dan sebelumnya, permainan dhakon mungkin sudah tidak asing lagi. Permainan tradisional ini merupakan bagian dalam dunia bermain mereka, terutama di wilayah pedesaan. Dhakon kayu dengan ukiran juga banyak dijumpai, terutama di kalangan kraton yang dimiliki oleh para ningrat dan bangsawan Jawa. Memang, mainan dhakon ini menjadi salah satu mainan favorit anak perempuan dari kalangan ningrat dan bangsawan kraton. Namun sayang, permainan tersebut lambat laun mulai tidak dikenal lagi oleh generasi sekarang seiring dengan perkembangan zaman.
Walaupun begitu, bukan berarti alat dhakon sudah tidak ada di masa kini. Masih banyak dijumpai dhakon di masyarakat Jawa saat ini. Namun fungsi utamanya sudah berubah. Sangat jarang anak perempuan sekarang bermain dhakon. Jika ada dhakon di masyarakat, lebih berfungsi untuk hiasan, asesoris rumah agar tampak njawani atau bisa jadi sudah masuk koleksi museum.
Dhakon yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah congklak, sebenarnya dapat menyebut ke alat permainan itu sendiri maupun ke nama permainannya. Jika “dhakon” menunjuk ke alatnya, maka “dhakonan” lebih menunjuk ke bermain dhakon. Pada umumnya, dhakon dibuat dari bahan sebilah kayu dengan panjang sekitar 50 cm, lebar 15-20 cm, dan tebal sekitar 4-5 cm. Kayu yang dipakai pun bebas jenisnya, yang penting mudah dilubangi (tidak sampai tembus, hanya sekitar 2 cm, bentuknya cekung). Bentuk kayu lebih ke bentuk persegi empat dengan kedua sisi ujung sering dibentuk setengah lingkaran. Lalu, kedua sisi memanjang dibuat lubang berpasangan berjumlah sekitar 3-7 buah. Sementara di kedua ujung juga dibuat lubang cekung agak besar jika dibanding dengan lubang-lubang di sisi kanan kiri. Sehingga total lubang cekung dalam sebuah dhakon antara 8-16 buah.
Namun bisa jadi, dhakon tidak dibuat dari kayu, namun bisa dibuat dengan melubangi tanah yang agak keras dengan batu. Jumlah lubang cekungnya bisa sama dengan dhakon yang terbuat dari kayu. Dhakon dari tanah dibuat jika memang si anak yang hendak bermain dhakon tidak mempunyai alat dhakon dari kayu. Memang semua anak zaman dulu belum tentu mempunyai alat dhakon kayu. Maka, cara praktis adalah dengan membuat cekungan pada tanah yang agak keras.
Bahan lain yang sekarang banyak dipergunakan untuk pembuatan dhakon adalah dari plastik. Dhakon plastik banyak dijumpai di toko-toko mainan, di swalayan, di pasar tradisional, atau di pasar-pasar malam. Dhakon plastik lebih enteng atau ringan jika dibandingkan dengan dhakon kayu.
Sementara alat lain yang dipakai adalah kecik atau biji buah sawo, sawo manila, srikaya, tanjung, dan sejenisnya. Bisa juga memakai butiran batu krikil yang berukuran kecil, sebesar kecik.
Dhakon biasa dipakai oleh anak perempuan. Sebelum bermain, maka setiap lubang dhakon yang berukuran kecil awalnya harus diberi kecik dengan jumlah yang sama, misalnya 6 buah. Maka untuk 5 lubang dikalikan 2 sisi dikalikan 6 kecik, dibutuhkan 60 kecik. Untuk banyaknya kecil setiap lubang bisa menjadi kesepakatan anak yang akan bermain dhakon. Kemudian anak yang akan bermain dhakon mengawali dengan “sut” untuk mencari pemenang. Pemenang akan mengawali untuk bermain duluan. Ia bebas untuk memilih lubang awal untuk kemudian diambil keciknya, kemudian dibagi ke lubang di sisi kanannya. Setiap lubang diberi satu, termasuk lumbungnya yang berada di sebelah kanan. Lalu setiap lubang milik lawan juga diberi jatah satu. Ketika kecik terakhir dijatuhkan pada lubang yang masih berisi kecik lainnya, maka ia akan terus memainkan permainan. Begitu seterusnya kembali ke lubang yang ada di sisi pemain. Lubang lumbung milik lawan tidak diberi kecik. Jika si pemain saat menjatuhkan kecik terakhir pada lubang yang tidak ada keciknya, maka ia dianggap berhenti bermain dan dilanjutkan ke lawan bermain. Demikian selanjutnya, hingga lubang-lubang kecil kosong keciknya. Permainan dhakon juga mengenal nembak dan mikul. Nembak berlaku jika si pemain saat menjatuhkan kecik terakhir di lubangnya sendiri, sementara lubang di hadapan sisi lawan ada keciknya, maka dikatakan nembak. Dikatakan mikul, jika saat menjatuhkan kecik terakhir di sisi lawan, di kanan kiri ada keciknya.
Jika seseorang mengungguli lawannya dalam perolehan kecik, maka ia dianggap menang. Kemudian permainan bisa dilanjutkan lagi hingga beberapa kali putaran atau sampai titik jenuh.
Ada pelajaran berharga dari bermain dhakon, di antaranya adalah rasa jujur dan melatih kecerdasan berhitung. Kejujuran permainan ini adalah mutlak. Sebab tanpa didasari rasa jujur, seseorang yang bermain dhakon akan curang sehingga merugikan orang lain. Ketika tidak didasari rasa jujur, maka saat kecik terakhir hendak jatuh pada lubang kosong tanpa kecik, ia pasti akan menjatuhkan kecik itu pada lubang sebelumnya yang ada keciknya. Atau bisa jadi, lumbungnya sendiri akan lebih diisi satu kecik dalam satu putaran. Banyak cara untuk berbuat curang jika tidak dijiwai dengan rasa jujur. Maka ketika rasa curang sering muncul, biasanya seseorang itu akan dijauhi oleh temannya bermain.
Selain itu tentu saja permainan dhakon juga membutuhkan kecerdasan berhitung, seperti di saat memasukkan kecik di setiap lubang maupun saat menghitung biji kecik di saat permainan satu babak usai. Jika tidak pandai berhitung, tentu akan membuat lawan bermain mengakalinya. Maka kecerdasan berhitung memang diperlukan dalam permainan dhakon.
Memang pada umumnya permainan tradisional lebih menitikberatkan pada penanaman nilai-nilai budi pekerti, seperti rasa kejujuran pada permainan dhakon atau nilai-nilai lain yang tentu akan dimunculkan pada permainan-permainan tradisional lainnya. Selain itu, pada permainan tradisional pada umumnya juga melibatkan rasa sosial yang tinggi, melibatkan dua orang lebih, dan bukan bersifat individual. Juga biasanya permainan anak tradisional, bahan baku alat langsung diperoleh dari lingkungan alam sekitarnya tanpa melalui proses pengolahan pabrik. Kreativitas anak biasanya lebih dominan dalam permainan tradisional, karena anak dilatih untuk membuat sendiri alat-alat permainan tersebut.
Teks dan foto : Suwandi

GATHENG

Ensiklopedi

Batu menjadi salah satu alat yang dominan dipakai oleh anak-anak masyarakat Jawa dalam permainan tradisional. Banyak dolanan anak yang menggunakan batu, termasuk permainan gatheng. Batu yang digunakan dalam permainan gatheng biasanya tidak terlalu besar, hanya sebesar buah tanjung atau sebesar kelereng ukuran standard kira-kira diameter 1 cm atau lebih sedikit. Batu dengan ukuran tersebut biasa disebut dengan kerikil. Kerikil banyak dijumpai di alam sekitar atau di pekarangan. Ternyata dolanan gatheng sudah berumur tua, terbukti, di zaman kerajaan Mataram Islam sekitar abad XVII, ada salah satu putra raja yang memiliki batu gatheng, yaitu Raden Rangga. Batu gatheng miliknya itu ternyata cukup besar, melebihi ukuran normal, karena Raden Rangga dianggap salah satu putra raja Mataram yang cukup sakti. Bahkan batu gatheng yang diyakini milik Raden Rangga tersebut, sekarang masih tersimpan di Kotagede, Yogyakarta (Sukirman, Permainan Tradisional Jawa, Kepel Pres 2004, halaman 72).
Bukti lain, kata gatheng juga ditemukan di Baoesastra (Kamus) Jawa karangan W.J.S. Poerwadarminto diterbitkan oleh JB. Wolters’ Uitgevers Maatschappij tahun 1939. Pada halaman 134 kolom 2 diterangkan bahwa gatheng termasuk nama dolanan anak yang menggunakan kerikil berjumlah 5 buah. Kerikil tersebut ada yang dilemparkan ke atas, sebagian lain diambil memakai tangan (diraup). Dari keterangan di atas, jelas bahwa permainan gatheng memang termasuk dolanan anak yang sudah berumur tua. Dolanan itu hingga saat ini masik dikenal oleh sebagian masyarakat termasuk anak-anak karena masih dimainkan ketika waktu senggang. Hanya mungkin intensitasnya tidak seperti zaman dulu karena pilihan permainan anak zaman sekarang semakin banyak dan bervariasi. Namun begitu juga sudah banyak anak-anak yang merasa asing dengan permainan ini karena memang tidak pernah diperkenalkan oleh orang tuanya. Jadi mereka menganggap asing dolanan ini.
Dolanan gatheng termasuk permainan perorangan. Awalnya, dolanan ini biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan. Namun dalam perkembangannya juga sering dimainkan oleh anak laki-laki. Jadi saat ini permainan ini sudah dianggap permainan umum, biasa dimainkan anak perempuan maupun laki-laki. Anak-anak yang bermain gatheng biasanya setingkat SD atau berumur antara 7—14 tahun. Dolanan gatheng dimainkan oleh anak-anak di saat sore hari setelah pulang sekolah. Kadang dimainkan pada pagi hari jika mereka sedang libur sekolah atau dimainkan di saat istirahat sekolah. Tempat bermain gatheng bebas, yang penting bisa memberi nyaman kepada anak-anak yang bermain, karena tidak memerlukan tempat yang luas. Satu meter persegipun sudah bisa dipakai oleh anak-anak untuk bermain gatheng. Asalkan tempatnya rata, bisa di teras rumah atau sekolah, di dalam rumah, di halaman rumah, di bawah pohon, atau di tempat-tempat nyaman lainnya. Dolanan gatheng sering dimainkan minimal oleh dua anak atau bisa lebih, misalnya 3 atau 4 anak. Jika lebih dari 4 sebaiknya membentuk kelompok baru.
Anak-anak yang akan bermain gatheng, misalkan 4 anak, sebelum bermain biasanya mereka sudah mempersiapkan 5 kerikil sama besar. Setelah itu mereka duduk melingkar di tempat yang rata. Hompipah dilakukan pertama kali untuk mencari pemenang urutan pertama hingga keempat. Misalkan B sebagai pemenang pertama, maka ia mendapatkan giliran bermain pertama kali, kemudian disusul pemenang selanjutnya, misalkan C,D, dan A.
gket satu sama lain. Sebab jika ada yang lengket atau menyatu akan menyulitkan bagi pemain. Setelah itu, pemain B mengambil salah satu kerikil lalu dilemparkan ke atas kira-kira 40-60 cm. Bisa lebih tinggi asalkan masih di sekitar area bermain. Sambil melemparkan sebuah kerikil ke atas, pemain B berusaha mengambil lagi sebuah kerikil lainnya sambil digenggam terus menangkap kerikil yang dilemparkan tadi sebelum kerikil jatuh ke lantai. Jika pemain B tidak berhasil menangkap kerikil yang dilemparkan ke atas, berarti pemain B dianggap mati dan harus digantikan pemain C. Begitu pula jika ada kerikil yang lengket dan saat diambil pemain B bergerak, maka permainan oleh pemain B untuk sementara juga dianggap mati dan harus digantikan pemain lainnya.
bersambung
Teks: Suwandi
(Sumber: Buku “Permainan Tradisional Jawa”, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004)

JAMURAN


Bagi anak-anak perempuan masyarakat Jawa yang hidup di sekitar tahun 1960-hingga 1970-an tentu tidak asing lagi dengan dolanan anak yang disebut Jamuran. Ketika televisi belum menjamur seperti sekarang, hiburan mereka kebanyakan adalah bermain di lapangan terbuka. Beraneka ragam dolanan anak mereka mainkan, salah satunya adalah jamuran. Seiring dengan merebaknya hiburan televisi dan lainnya, permainan tradisional jamuran ini sudah jarang lagi dimainkan oleh anak-anak perempuan. Jika masih ada pun hanya sebatas dalam kegiatan festival, workshop, seminar, atau sejenisnya.
Dari segi istilah, kiranya nama jamuran diambil dari nama tumbuhan jamur. Jamur yang berbentuk seperti payung bulat itulah yang menjadi inspirasi nama dolanan jamuran. Berarti jamuran adalah sebuah nama dolanan, yang permainannya membentuk lingkaran seperti jamur. Maka anak-anak menyebutnya dengan dolanan jamuran.
Biasanya yang memainkan dolanan jamuran ini adalah anak-anak perempuan. Namun tidak menutup kemungkinan juga dimainkan oleh anak-anak laki-laki atau campuran. Sementara umur anak-anak yang bermain dolanan ini setingkat usia TK sampai SD, sekitar 6-13 tahun. Jika ada anak di bawah usia 6 tahun ikut, biasanya dianggap pupuk bawang atau bawang kothong alias dianggap cuma ikut-ikutan, karena dianggap belum paham tentang cara bermain yang sesungguhnya. Dolanan jamuran ini, dulu sering dimainkan di saat waktu senggang di hari libur di saat pagi, sore, atau malam hari ketika bulan purnama.
Dolanan jamuran tidak membutuhkan peralatan bantu kecuali hanya tanah lapang atau halaman yang cukup luas. Biasanya memakai halaman rumah, halaman sekolah, halaman balai desa, atau di lapangan. Sebelum anak-anak melakukan permainan ini, mereka melakukan ‘hompipah’ untuk menentukan pemenang dan yang ‘dadi’. Anak yang bermain umumnya lebih dari 4 anak. Idealnya sekitar 10 anak. Setelah dilakukan ‘hompipah’, anak yang kalah akan menjadi pemain ‘dadi’. Ia berposisi di tengah, sementara anak lain mengelilinginya sambil melingkar dan bergandengan tangan.
Anak-anak yang mengelilinginya sambil menyanyikan sebuah tembang jamuran, yaitu: //jamuran, ya ge ge thok/ jamur apa ya ge ge thok/ jamur gajih mbejijih saara-ara/ semprat-semprit jamur apa?// Setelah nyanyian selesai, maka anak yang ‘dadi’ segera mengucapkan sebuah jamur, misalnya ‘jamur lot kayu’. Maka seketika pemain yang mengelilinginya harus segera mencari pohon atau benda-benda yang berasal dari kayu untuk dipeluknya. Jika ada anak yang kesulitan mencarinya maka bisa segera ditangkap oleh anak yang dadi. Jadilah anak yang ditangkap itu menjadi anak yang ‘dadi’. Ia harus berada di tengah, semantara anak lain termasuk yang menangkapnya kembali mengelilingi anak yang baru ‘dadi’ tadi. Begitulah seterusnya, ketika permainan kembali mulai, anak-anak mengawali dengan tembang jamuran seperti di atas.
Berbagai jenis jamur yang biasanya diucapkan oleh anak yang ‘dadi’. Hal itu biasanya tergantung dari wawasan anak yang ‘dadi’. Macam-macam jenis jamur yang sering diucapkan anak saat bermain jamuran, seperti jamur kethek menek, jamur kendhil borot, jamur gagak, jamur kendhil, dan sebagainya. Saat anak yang ‘dadi’ mengucapkan ‘jamur kethek menek’, maka pemain lain harus segera mencari tempat yang bisa dipanjat. Yang penting mereka tidak menginjak tanah. Ketika ada anak yang kesulitan mencari tempat panjatan dan segera ditangkap oleh anak yang ‘dadi’, maka anak yang ditangkap akan berubah menjadi anak yang ‘dadi’. Jika ada anak yang ‘dadi’ sampai berulangkali, dinamakan ‘dikungkung’.
Tentu anak yang bermain jamuran harus bisa bersosialisi dengan teman, tidak boleh egois, harus cekatan, banyak akal, dan tidak boleh cengeng. Jika anak tidak bisa memenuhi kriteria itu tentu akan mudah ditinggalkan teman-teman bermain lainnya. Itulah pendidikan yang diajarkan dalam permainan tradisional jamuran.

GOBAG SODOR


Dolanan tradisional gobag sodor ini tentu sudah tidak asing lagi bagi anak-anak masyarakat Jawa yang sekarang berumur 30 tahun ke atas. Permainan yang akrab di kalangan anak-anak di tahun 1970-an ini sering dimainkan oleh anak laki-laki maupun kadang-kadang orang dewasa oleh kalangan masyarakat Jawa di kala waktu senggang, apalagi ketika malam bulan purnama. Salah satu kegiatan mengisi bulan purnama biasanya dengan memainkan dolanan tradisional berupa dolanan gobag sodor. Permainan ini ternyata juga sudah terekam dalam Baoesastra (kamus) Djawa tahun 1939 karangan W.J.S. Poerwadarminto terbitan J.B. Wolters’ Uitgevers Maatschappij, N.V. Groningen, Batavia. Di kamus itu tercatat di halaman 158, disebutkan hanya dengan istilah gobag, yang menerangkan sebagai sebuah jenis permainan anak. Di masyarakat Jawa seringkali pula disebut dengan permainan gobag sodor.
Permainan gobag sodor membutuhkan tempat yang agak luas, paling tidak untuk bermain gobag sodor ini membutuhkan luas lapangan sekitar 6 meter x 15 meter. Padahal rumah sekarang sudah jarang yang mempunyai luas halaman tersebut. Maka tidak aneh jika permainan gobag sodor ini semakin hari jarangdimainkan oleh anak-anak sekarang karena keterbatasan lahan. Selain itu, permainan ini membutuhkan jumlah anak yang cukup untuk bermain, paling tidak 8—10 anak. Ketika masa lalu, anak-anak masih banyak punya waktu luang sehingga bisa bermain bersama-sama. Namun sekarang, anak-anak sudah banyak pilihan mainan, sehingga sulit untuk diajak bermain kelompok. Walaupun sebenarnya permainan ini mempunyai kelebihan dalam sikap bersosialisasi. Anak diajak bisa bekerjasama dengan teman bermain. Selain itu, permainan ini juga menuntut pelaku bermain untuk bersikap sportif dalam permainan dan tidak boleh curang atau egois. Anak-anak juga dituntut untuk bermain energik karena memang sifat permainan ini cepat.
Cara bermain gobag sodor termasuk cukup mudah. Sebelum bermain, biasanya anak-anak yang hendak bermain mencari lahan bermain yang cukup luas dan rata. Di atas lahan tersebut kemudian digambari garis persegi empat dengan lebar 6 meter dan panjang 15 meter. Kotak persegi panjang itu kemudian dibelah menjadi 2 bagian sama panjang dengan ukuran masing-masing 3 meter. Kemudian panjangnya juga dibagi-bagi lagi menjadi 4 bagian, setiap bagian dengan lebar 3 meter juga. Selain itu, di bagian tengah juga ditarik garis ke depan dan ke belakang masing-masing sekitar 2-3 meter. Maka jadilah lapangan untuk bermain gobag sodor. Biasanya jaman dulu anak-anak membuat garis-garis gobag sodor ini dengan air kendi agar lebih awet dan tidak mudah terhapus. Namun bisa pula dengan menaburkan batu kapur yang sudah lembut atau digaris dengan tongkat kayu atau bambu.
Setelah itu, anak-anak yang bermain, misalnya 10 anak harus dibagi 2 regu. Masing-masing regu beranggotakan 5 anak. Ketua regu melakukan “sut” untuk menentukan pemenang. Setelah dilakukan “sut”, maka regu pemenang akan main duluan dengan menempatkan diri di kedua garis depan di kanan kiri maupun di ujung garis sodor. Sementara yang kalah menempatkan diri di masing-masing garis melintang untuk menjaga anak-anak yang akan ke belakang. Satu pemain yang kalah harus bertugas menjaga garis sodor (garis tengah yang membagi dua bagian kanan dan kiri). Setelah semua siap, anak-anak yang bertugas sebagai sodor dan penjaga garis depan berusaha menyentuh anak-anak yang telah melakukan start. Setelah itu anak-anak yang mendapat giliran main harus berusaha keras melewati setiap garis yang dijaga lawan. Anak-anak yang mendapat giliran main harus berusaha sampai garis paling belakang dan kembali ke garis depan. Anak-anak ini juga harus berusaha menghindari sentuhan pemain penjaga yang menjaga setiap garis. Jika ada 2 anak yang mendapat giliran main berada di dalam satu kotak, maka pemain lawan boleh mengunci. Sementara anak-anak lain yang bermain tidak boleh sampai finish terlebih dahulu, sebelum anak-anak yang terkunci bisa meloloskan diri. Jika anak yang bermain tadi bisa meloloskan diri dari jebakan, maka anak yang lain bisa menuju finish dan dianggap sebagai pemenang. Namun jika ada anak yang mendapat giliran main tersentuh oleh lawan sebelum anak lain mencapai finish, maka dianggap kalah dan harus bergantian main. Begitu seterusnya. Jika ada regu yang menang, biasanya mendapat hadiah gendongan dari lawan bermain. Jarak gendongan ditentukan oleh kedua regu yang bermain.
Permainan tradisional gobag sodor memang salah satu permainan yang murah meriah tanpa harus mengeluarkan uang. Namun sayang, permainan ini sudah dianggap kuno dan jarang dimainkan oleh anak-anak sekarang. Walaupun tidak menutup kemungkinan, kadang-kadang masih dijumpai di sekitar kita, tetapi biasanya dalam rangka perayaan tujuh belasan atau festival dolanan anak.